Kata Bijak Pak Mario
Minggu, 29 Mei 2011
Meluruskan Pemahaman tentang To Wajo
Mengenal banyak orang Wajo, bahkan pernah bekerja bersama dan dipimpin oleh Orang Wajo. Karena itu, saya cukup mengenal karakter sosial dan budaya To Wajo (Manusia Wajo). Dibandingkan dengan etnis bugis lainnya di Sulawesi Selatan, To Wajo memiliki karakteristik tersendiri yang menonjol, yaitu dalam hal pengelolaan usaha dan kepemilikan harta. Hal ini tercermin dalam ungkapan lama, “Ri werengngi pole ri Dewatae’, alebbireng koi ri Luwu, asogireng koi ri Wajo, Awaraniang koi ri Bone, Awatangeng koi ri Gowa”. (Dianugerahkan oleh Dewata, kemuliaan pada Luwu, kekayaan pada Wajo, keberanian pada Bone dan kekuatan pada Gowa).
Orang Wajo sangat ekonomis dan berjiwa perantau – pengusaha (saudagar). Komitmen mereka dalam dunia usaha didasari oleh prinsip, “massiji warang-parang temma siji balu-balu”. (bersaudara dalam hal kepemilikan harta tetapi tidak dalam hal barang jualan), pola adaptasi sosio – cultural dan strategi ekonomi didasarkan pada konsep “Tallu Cappa” (ujung lidah, ujung badik dan ujung kemaluan) yang berarti kecerdasan, keberanian dan perkawinan) serta azas “silellung sirui” (saling mengejar dan menarik) sebagai modal penting dalam membangun rivalitas konstruktif dalam berusaha.
Kebiasaan merantau (sompe’) dan mengadu nasib di negeri orang yang melekat pada orang Wajo sehingga seringkali kita mendapati ungkapan yang mengatakan, “Padangkang to Wajo’e” (pedagang orang Wajo) atau “Sugi’to Wajo’e adangkangeng’na napakkapong”. (kaya orang Wajo karena mengutamakan perdagangan atau berdagang). Penggambaran kebiasaan merantau orang Wajo ini, yang sekaligus mengungkap konsep “maradeka” (merdeka) bagi orang Wajo, tertuang dalam Lontaraq Sukku’na Wajo (LSW), sebagai berikut :
“Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata’, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang”.
Artinya :
Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pertuan.
“Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’. Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.”
Artinya :
Yang dimaksud merdeka ialah ia bebas pergi kemana ia suka, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, Mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau melaksanakan perintah yang tak ada dasar hukumnya.
Banyak sebutan yang disematkan kepada To Wajo, ada yang menyebutnya ”bugis kapitalis”, ”orang cinanya bugis”, ”to sekke”, atau ”pabbalu”, malahan sering pula saya mendengar ungkapan, ”jaga-jagai nabaluk wekkaduako to WajoE” (berjaga dan waspadalah, jangan sampai kamu dijual dua kali oleh orang Wajo). Kesemua sebutan dan ungkapan itu tentunya berdasar pada kepandaian berdagang orang Wajo, meski tidak sepenuhnya benar, sebutan dan ungkapan ini seharusnya mendapatkan pelurusan fakta yang bersumber dari akar sejarah sosial orang Wajo. Hanya sayangnya, tidak semua orang, bahkan banyak diantara kita yang tidak lagi memahami identitas kulturalnya. Jadi, Bagaimanakah ’Manusia Wajo’ itu sekarang ???
* * *
Saat memasuki Kabupaten Wajo, di pintu gerbang kita akan melihat tulisan dalam aksara lontaraq Bugis berbunyi, “Maradeka to Wajo’e, Ade’na Napopuang”. Filosofi kemerdekaan ini pula yang tertulis pada lambang daerah Kabupaten Wajo. Nilai falsafah itu banyak yang menyamakannya dengan slogan orang barat, born for liberty (lahir untuk kebebasan), prinsip kebebasan yang telah lama dianut orang Bugis Wajo. Artinya : Merdeka Orang Wajo, Hanya adatnya yang dipertuan, bermakna bahwa orang yang pantas diperlakukan sebagai “puang” hanyalah orang yang menghargai dan menghormati adat yang berlaku di masyarakat. Jadi walaupun dia keturunan bangsawan, tapi kalau tidak menghargai adat yang berlaku di masyarakat maka dia tak pantas “dipopuang” (dipertuan).
Adanya pandangan banyak orang bahwa orang Wajo adalah orang sekke’ (kikir) barangkali perlu diluruskan disini. Menurut saya, kikir (sekke’) dan perhitungan adalah dua hal yang serupa tapi tidak sama. Karakter umum pedagang adalah harus kuat di perhitungan, saya kira tidak ada pedagang yang mau rugi. Hal ini tercermin dari sifat To Wajo dalam berdagang, mereka tidak mau rugi sekalipun dalam jumlah yang minim. Di kalangan mereka dikenal istilah “rugi cina”, yaitu menjual sesuatu dengan keuntungan yang sedikit dari modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Ade’na napopuang, berarti juga bahwa Orang Wajo hanya taat pada aturan yang disepakati bersama, itu termasuk falsafah pedagang. Dan jika dikaitkan dengan konsep ‘maradeka’ maka wilayah perdagangan To Wajo, sangat luas, tidak mau dibatasi oleh wilayah dan batas daerah.
Yang harus dipahami disini adalah pesan kultural To Wajo secara turun temurun terkait tradisi wirausaha atau kegiatan perdagangan, yaitu “massiji warang-parang temma siji balu-balu”. Artinya bersaudara dalam hal kepemilikan harta tetapi tidak dalam hal barang jualan”. Dalam konteks ini, To Wajo telah menyadari pentingnya pemisahan antara harta yang terkait dengan modal usaha yang harus ditukar dengan uang dan harta yang tidak berhubungan dengan modal dan kegiatan usaha. Itulah sebabnya, jika anda meminta atau meminjam sesuatu kepada To Wajo di pasar atau dimanapun tempat mereka berjualan, maka anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Tetapi jika meminta di rumah, apa saja yang kita minta akan diberi. Inilah yang termasuk saya suka dari To Wajo, apalagi pesan kultural ‘menjaga’ perdagangan tersebut masih dikawal oleh pesan lainnnya, “aja numaelo natunai sekke, naburuki labo”. (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).
Ungkapan lama, “Ri werengngi pole ri Dewatae’, alebbireng koi ri Luwu, asogireng koi ri Wajo, Awaraniang koi ri Bone, Awatangeng koi ri Gowa”. (Dianugerahkan oleh Dewata, kemuliaan pada Luwu, kekayaan pada Wajo, keberanian pada Bone dan kekuatan pada Gowa) pada dasarnya ingin menegaskan pada generasi kita sekarang bahwa bugis makassar itu satu, harus saling membantu, saling menopang dan menegakkan. Apa yang tidak ada pada kita, ada pada orang lain, apa yang ada pada daerah lain, ada di daerah kita. Intinya, pesan dan ungkapan itu menyiratkan perlunya kerjasama, dalam hal yang saling menopang. Terkait Sumber Daya Alam (SDA), Wajo memang kaya dengan karakteristik wilayah tiga dimensinya, “Mangkangulu ri bulue, massulappe dipottanange, mattodang ritapparenge”. Terkait pembangunannya, tentunya memerlukan kearifan lokal dari Pemkab dan Masyarakat Wajo dalam pengelolaannya. Tentu ironi, jika To Wajo keluar merantau mencari penghidupan di negeri orang sementara disisi lain SDA Wajo sangat kaya dan berlimpah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
WAJO - TOSORA
BalasHapus